Rabu, 26 Juni 2013

Resensi Novel




RESENSI NOVEL

Disusun Guna Memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah Membaca Komperhensif
Dosen Pengampu: M. Fakhrur Saifudin


Disusun Oleh :
Nama : Aditya Rahman
NIM : A310120140
Kelas: 2D

PENDIDIKAN BAHASA, SASTRA INDONESIA DAN DAERAH
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2013



Resensi Novel Ronggeng Dukuh Paruk

                                                                               




Judul Resensi                      :   Sang Penari Dari Desa Paruk

A. Latar Belakang

Deskripsi Buku   :

1.      Judul buku                           :           Ronggeng Dukuh Paruk
2.      Nama pengarang                  :           Ahmad Tohari
3.      Tempat penerbitan buku      :           Gramedia Pustaka Utama
4.      Jumlah halaman                    :           408 halaman
5.      Tahun penerbitan                 :           1982
6.      Jenis                                     :           Fiksi
7.      Peresensi                              :           Aditya Rahman



Dalam sebuah novel karya Ahmad Tohari ini dikisahkan ada sebuah desa terpencil dan miskin bernama Dukuh Paruk. Dalam desa Dukuh Paruk ini di ceritakan ada salah seorang Ronggeng(penari) yang bernama Srintil. Walaupun di ceritakan bahwa desa ini adalah desa miskin yang terbelakang. Namun, segenap warganya memiliki suatu kebanggan tersendiri karena mewarisi kesenian ronggeng yang senantiasa menggairahkan hidupnya.

Sekarang ini adalah kali pertama saya membaca novel karya dari Ahmad Tohari. Saya memilih judul novel Ronggeng Dukuh Paruk karena saya tertarik dengan cerita dari dosen saya tentang sebuah film yang berjudul Sang Penari, yang merupakan judul film yang diambil dari novel sastra karya Ahmad Tohari yang berjudul Ronggeng Dukuh Paruk. Novel ini merupakan salah satu novel karya Ahmad Tohari yang terbit pada tahun 1982.


Dalam isi cerita novel ini di kisahkan ada sebuah desa  sebuah yang bernama Dukuh paruk. Dlama sebuah desa kecil yang miskin dan terpencil ini ini terdapat seorang Ronggeng(penari) yang bernama Srintil. Dalam waktu singkat, Srintil pun membuktikan kebolehannya menari disaksikan orang-orang Dukuh Paruk sendiri dan selanjutnya dia pun berstatus gadis pilihan yang menjadi milik masyarakat. Sebagai seorang ronggeng, Srintil harus menjalani serangkaian upacara tradisional yang puncaknya adalah menjalani upacara bukak klambu, yaitu menyerahkan keperawanannya kepada siapa pun lelaki yang mampu memberikan imbalan paling mahal.

Meskipun Srintil sendiri merasa ngeri, tak ada kekuatan dan keberanian untuk menolaknya. Srintil telah terlibat atau larut dalam kekuasaan sebuah tradisi, di sisi lain, Rasus merasa mencintai gadis itu tidak bisa berbuat banyak setelah Srintil resmi menjadi ronggeng yang dianggap milik orang banyak. Oleh karena itu, Rasus memilih pergi meninggalkan Srintil sendirian di Dukuh Paruk. Kepergian Rasus ternyata membekaskan luka yang mendalam di hati Srintil dan kelak besar sekali pengaruhnya terhadap perjalanan hidupnya yang berliku. Rasus yang terluka hatinya memilih meninggalkan Dukuh Paruk dan akhirnya menjadi seorang prajurit atau tentara yang gagah. Dengan ketentaraannya itulah kemudian Rasus memperoleh penghormatan dan penghargaan seluruh orang Dukuh Paruk, lebih-lebih setelah berhasil menembak dua orang perampok yang berniat menjarah rumah Kartareja yang menyimpan harta kekayaan ronggeng Srintil.

Beberapa hari singgah di Dukuh Paruk Rasus sempat menikmati kemanjaan Srintil sepenuhnya. Tapi itu semua tidak menggoyahkan tekadnya yang bulat untuk menjauhi Srintil dan dukuhnya yang miskin. Pada saat fajar merekah, Rasus melangkah gagah tanpa berpamitan pada Srintil yang masih pulas tidurnya. Kepergian Rasus tanpa pamit sangat mengejutkan dan menyadarkan Srintil bahwa ternyata tidak semua lelaki dapat ditundukkan oleh seorang ronggeng. Setelah kejadian itu Srintil setiap hari tampak murung dan sikap Srintil yang kemudian menimbulkan keheranan orang-orang disekitarnya. Kebanyakan mereka tidak senang menyaksikan kemurungan Srintil, sebab mereka tetap percaya ronggeng Srintil telah menjadi simbol kehidupan Dukuh Paruk. Dalam kurun waktu tertentu, Srintil tetap bertahan tidak ingin menari sebagai ronggeng.

Perlawanan atau pemogokan Srintil masih bertahan ketika datang tawaran menari dari Kantor Kecamatan Dawuan yang akan menggelar pentas kesenian menyambut perayaan Agustusan. Kalau pun pada akhirnya runtuh dan pasrah, bukan semata-mata tergugah untuk kembali tampil menari sebagai seorang ronggeng, melainkan mendengar ancaman Pak Ranu dari Kantor Kecamatan. Srintil menyadari kedudukannya sebagai orang kecil yang tak berhak melawan kekuasaan. Sama selaki ia tidak membayangkan akibat lebih jauh dari penampilannya di panggung perayaan Agustusan yang pada tahun 1964 sengaja dibuat berlebihan oleh orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI). Warna merah dipasang di mana-mana dan muncullah pidato-pidato yang menyebut-nyebut rakyat tertindas, kapitalis, imperalis, dan sejenisnya.


Pemberontakan PKI kandas dalam sekejap dan akibatnya orang-orang PKI atau mereka yang dikira PKI dan siapa pun yang berdekatan dengan PKI di daerah mana pun ditangkapi dan di tahan. Nasib itu terjadi juga pada Srintil yang harus mendekam di tahanan tanpa alasan yang jelas. Pada mulanya, terjadi paceklik di mana-mana sehingga menimbulkan kesulitan ekonomi secara menyeluruh.

Pada waktu itu, orang-orang Dukuh Paruk tidak berpikir panjang dan tidak memahami berbagai gejala zaman yang berkembang di luar wilayahnya. Dalam masa paceklik yang berkepanjangan, Srintil terpaksa lebih banyak berdiam di rumah, karena amat jarang orang mengundangnya berpentas untuk suatu hajatan. Akan tetapi, tidak lama kemudian ronggeng Srintil sering berpentas di rapat-rapat umum yang selalu dihadiri atau dipimpin tokoh Bakar. Walaupun Srintil tidak memahami makna rapat-rapat umum, pidato yang sering diselenggarakan orang. Yang dia pahami hanyalah menari sebagai ronggeng atau melayani nafsu kelelakian.
           

Hubungan mereka merenggang setelah beberapa kali terjadi penjarahan padi yang dilakukan oleh orang-orang kelompok Bakar. Sukarya merasa tersinggung dengan Bakar, karena Bakar mengungkit-ungkit masa lampau Ki Secamenggala yang dikenal orang sebagai bromocorah. Karena hal itu Sakarya memutuskan hubungan dengan kelompok Bakar. Sakarya tidak hanya melarang ronggeng Srintil berpentas di rapat-rapat umum, tetapi juga meminta pencabutan lambang partai. Akan tetapi, Bakar menanggapinya dengan sikap bersahaja. Dalam tempo singkat, Dukuh Paruk kembali ke tradisinya yang sepi dan miskin.

Akan tetapi, kedamaian itu hanya sebentar, karena mereka kemudian kembali bergabung dengan kelompok Bakar setelah terkecoh oleh kerusakan cungkup makam Ki Secamenggala. Sakarya menduga kerusakan itu ulah kelompok Bakar yang sakit hati, tetapi kemudian beralih ke kelompok lain setelah menemukan sebuah caping bercat hijau di dekat pekuburan itu. Sayang, mereka tidak mampu membaca simbol itu. Dan Srintil pun semangat menari walaupun tariannya tidak seindah penampilannya yang sudah-sudah.

Ternyata penampilan yang berlebihan itu merupakan akhir perjalanan Srintil sebagai ronggeng. Mendadak pasar malam bubar tanpa penjelasan apa pun dan banyak orang limbung, ketakutan, dan kebingungan, sehingga kehidupan terasa sepi dan mencekam. Berbagai peristiwa menjadikan orang-orang Dukuh Paruk ketakutan, tetapi tidak mengetahui cara-cara penyelesaiannya. Yang terpikir adalah melaksanakan upacara selamatan dan menjaga kampung dengan ronda setiap saat.

Keesokan harinya orang-orang Dukuh Paruk melepas langkah Kartareja dan Srintil yang berniat meminta perlindungan polisi di Dawuan. Tapi ternyata harapan berlindung kepada polisi itu berantakan, karena kepolisian dan tentara justru sudah menyimpan catatan nama Srintil yang terlanjur populer sebagai ronggeng rakyat yang mengibarkan bendera PKI.
Srintil pulang ke Dukuh Paruk setelah dua tahun mendekam dalam tahanan politik dengan kondisi kejiwaan yang sangat tertekan. Ia berjanji menutup segala kisah dukanya selama dalam tahanan dan bertekad melepas predikat ronggengnya untuk membangun sebuah kehidupan pribadinya yang utuh sebagai seorang perempuan Dukuh Paruk, meskipun tidak mengetahui sedikitpun keberadaan Rasus.    
Srintil bertemu dengan Bajus. Bajus berjanji akan menikahi Srintil, sehingga Srintil berusaha mencintai Bajus. Tapi Srintil sangat kecewa, karena Bajus ternyata lelaki impoten yang justru hanya berniat menawarkannya kepada seorang pejabat proyek. Srintil pun mengalami goncangan jiwa dan akhirnya menderita sakit gila sampai akhirnya dibawa ke rumah sakit jiwa oleh Rasus.


Tema yang di ambil dalam novel ini adalah tema yang mengangkat tentang kebudayaan. Suatu kebudayaan ronggeng(penari) yang berasal dari sebuah desa yang bernama dukuh paruk. Tokoh-tokoh yang saya anggap menonjol dalam menggulirkan alur cerita dalam novel ini adalah sang ronggeng Srintil, sang tentara Rasus, Sakarya, Kartareja dan Istrinya. Srintil adalah seorang anak yatim piatu yang bercita-cita menjadi ronggeng. Dia pandai memikat, pandai menari, senang dipuji, cantik. Adapun genre dari novel ini ialah buku novel yang bergenre fiksi.

Rasus adalah seorang anak laki-laki yatim piatu yang menyukai bahkan mengagumi Srintil karena sebuah alasan ia melihat sosok ibunya pada sosok Srintil. Rasus adalah anak yang rajin, terbukti semasa kecilnya ia kerap membantu neneknya menggembalakan kambing. Kemudian ketika dewasa ia tumbuh menjadi laki-laki yang patuh terhadap keharusan bahwa ia harus meninggalkan Dukuh Paruk untuk menjadi seorang tentara. Ketika menjadi seorang tentara, Rasus tidak lagi ragu-ragu untuk memilih jalan yang seharusnya ia tempuh.

Sakarya, kakek Srintil yang amat patuh pada adat. Sakarya sangat memercayai keberadaan Ki Secamenggala. Sakarya bahkan membuat Srintil menjadi seorang ronggeng di usia muda.Kartareja, seorang dukun ronggeng yang licik. Ketika malam buka kelambu, ia melakukan kelicikan pada dua orang pemuda yang mampu memenuhi persyaratan untuk bisa mewisuda keperawanan seorang ronggeng, Srintil.

Istri Kartareja juga sama halnya dengan suaminya, licik. Nyai Kartareja juga pandai memikat dan menaklukkan orang yang sedang emosi. Terbukti ketika Nyai Kartareja menaklukkan emosi dua orang pemuda yang hendak mewisuda keperawanan Srintil.
Ada pun tokoh-tokoh lainnya seperti Darsun, Warta, Sakum, Santayib, Istri Santayib, Nenek Rasus, Nyai Sakarya, Siti, Ibu Siti, dan warga Dukuh Paruk lainnya, juga sang leluhur yang sosoknya selalu disebut-sebut warga Dukuh Paruk, Ki Secamenggala.

Alur yang digunakan adalah alur campuran. Ceritanya terkadang melaju ke masa depan, namun juga terkadang mengulas masa lalu. Menurut saya, alur yang digunakan dalam penceritaan ini sangat meloncat-loncat. Untuk pertama kali, Rasus menceritakan kehidupannya di usia empat belas tahun, lalu tiba-tiba ia menjadi tentara dan usianya dua puluh tahun. Jalan cerita tidak sedikit pun menjabarkan tentang bagaimana Rasus menjadi seorang tentara dan Srintil mulai beranjak menjadi wanita dewasa.

Ada pun kilas balik ke masa yang lebih dulu, ketika Srintil masih bayi dan keracunan akibat tempe bongkrek itu terjadi, setidaknya itu lebih jelas penjabaran alur ceritanya. Namun, seperti ada sesuatu yang hilang atau mungkin memang disengaja ketika penggunaan alur penceritaan dari usia Rasus yang ke-14 tahun menuju penceritaan pada saat usia Rasus yang ke-20 tahun. Di akhir cerita pun seperti ada sesuatu yang menggantung, sesuatu yang belum selesai. Hal ini dapat dipahami karena novel ini adalah novel pertama dari trilogi novel yang ada. Kesimpulannya, alur dalam novel ini terkesan meloncat-loncat bagi saya.

Sudut pandang pengarang dalam novel ini adalah sebagai sudut pandang orang pertama serba tahu. Ahmad Tohari memasukkan sudut pandang keakuannya pada tokoh Rasus yang dibuat seolah tahu semua hal yang terjadi pada semua tokoh lainnya yang terdapat dalam novel ini. dipatuhi oleh cerita. Sementara kebenaran yang saya yakini sungguh jauh berbeda dengan yang terdapat dalam cerita. Namun, menilai karya sastra memanglah tidak dibenarkan jika memakai penilaian dari sudut pandang kesubjektifan.

B. Jenis

Novel karya dari Ahmad Tohari ini adalah novel yang berjenis fiksi atau kisah khayalan semata. Walaupun begitu novel karya sastrawan hebat ini merupakan salah satu novel yang cukub baik. Mengapa demikian, karena di dalam cerita novel ini banyak sekali mengangkat tema tentang kebudayaan yang ada di Indonesia. Selain itu, novel ini banyak sekali nilai historisnya, karena di dalam novel ini banyak sekali mengangkat latar belakang cerita tentang masa-masa jayanya PKI. Dengan adanya novel ini dapat mengingatkan kita tentang kebudayaan Indonesia salah satunya adalah ronggeng.



C. Penilaian

1. Kelebihan

Kelebihanya, kisah novel ini sarat akan nilai kemanusiaan dan penghormatan pada perempuan. Srintil merupakan simbol tokoh yang dijadikan sebagai semangat keperempuanan yang berjuang untuk keluar dari hitamnya zaman,dimana perempuan saat itu harus diperbudak oleh lelaki sebagai hawa nafsu dan selalu dikekang dalam memilih hidupnya sendiri. Sangat sarat dengan HAM.terutama lebih menekankan hak pribadi yang juga harus dimiliki seseorang (terutama perempuan). Novel ini juga mengajarkan kita untuk selalu sadar dan ingat sejarah.

2. Kekurangan
             
Kekurangan dari novel ini yaitu penceritaan yang bertele-tele dengan sisipan suasana desa yang begitu detail namun keluar dari alur cerita,sehingga cerita seolah menjadi tak konsisten dan terlalu jenuh untuk dibaca. Dan yang paling kental adalah banyaknya kata-kata yang sangat seronok dan kasar,seperti Asu Buntung,Bajul Buntung,dan sebagainya yang begitu kasar dalam kasta Bahasa Jawa maupun Bahasa Indonesia.

3. Kesimpulan

Dengan membaca isi dari novel ini kita dapat memberikan beberapa perbandingan dengan novel lainya. Jika, di bandingkan dengan novel karya Ahmad Tohari yang lain, seperti, Kubah, Ayam Kemukus, dan Bekisar Merah, novel karya Ahmad Tohari yang satu ini cukuplah menarik. Karena, di butuhkan penalaran yang lebih dalam untuk kita bisa memahami apa saja makna dan kandungan yang terdapat di dalam novel ini. Novel ini ceritanya sungguh rumit dan sangat sulit di pahami seperti halnya film Sang Penari yang sebenarnya merupakan film yang memang diangkat dari sebuah berjudul novel Ronggeng Dukuh Paruk. Cukup banyak tersirat amanat yang terkandung di dalam isi bacaan novel ini. Namun, Sulit rasanya ketika saya harus memandang kebenaran berdasar pada kebenaran yang dipatuhi oleh cerita. Sementara kebenaran yang saya yakini sungguh jauh berbeda dengan yang terdapat dalam cerita. Namun, menilai karya sastra memanglah tidak dibenarkan jika memakai penilaian dari sudut pandang kesubjektifan.

Dengan segala keterbatasan penangkapan nilai-nilai dalam novel ini, mungkin amanat yang hendak disampaikan dari novel ini adalah keterbatasan hanya pada satu pemahaman tidak akan membuat kemajuan yang lebih pada kehidupan. Warga Dukuh Paruk boleh saja bahkan memang seharusnya menghargai adat yang berlaku sudah sekian lamanya, namun kebanggaan dan penghargaan tersebut jangan sampai menutup mata mereka terhadap kehidupan di luar Dukuh Paruk sehingga mereka buta sama sekali tentang kenyataan kehidupan di luar kampung mereka sendiri.

Menurut saya, novel ini sangat cocok di baca oleh mahasiswa dan kaum pelajar karena banyak sekali pesan yang terkandung di dalam novel sastra ini. Bukan hanya itu, dengan novel ini pembaca dapat melatih imajinasi serta pemahamanya mengenai karya sastra yang bersifat seni. Pembaca, sebagai peminat karya sastra hendaknya juga dapat melakukan pengkajian karya sastra supaya dapat lebih memahami unsur-unsur karya sastra secara lebih mendalam rangkaian hikmah yang ada dan untuk mengetahui lebih dekat macam-macam teori pengkajian sastra agar dapat menambah wawasan pembaca.