RESENSI
NOVEL
Disusun Guna Memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah Membaca
Komperhensif
Dosen Pengampu: M. Fakhrur Saifudin
Disusun Oleh :
Nama : Aditya Rahman
NIM : A310120140
Kelas: 2D
PENDIDIKAN
BAHASA, SASTRA INDONESIA DAN DAERAH
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2013
Resensi Novel Ronggeng Dukuh Paruk
Judul Resensi : Sang Penari Dari Desa Paruk
A. Latar Belakang
Deskripsi Buku :
1. Judul buku : Ronggeng Dukuh Paruk
2. Nama pengarang : Ahmad Tohari
3. Tempat penerbitan buku : Gramedia
Pustaka Utama
4. Jumlah halaman : 408 halaman
5. Tahun penerbitan : 1982
6. Jenis : Fiksi
7. Peresensi : Aditya Rahman
Dalam sebuah novel karya Ahmad
Tohari ini dikisahkan ada sebuah desa terpencil dan miskin bernama Dukuh Paruk.
Dalam desa Dukuh Paruk ini di ceritakan ada salah seorang Ronggeng(penari) yang
bernama Srintil. Walaupun di ceritakan bahwa desa ini adalah desa miskin yang
terbelakang. Namun, segenap warganya memiliki suatu kebanggan tersendiri karena
mewarisi kesenian ronggeng yang senantiasa menggairahkan hidupnya.
Sekarang ini adalah kali pertama
saya membaca novel karya dari Ahmad Tohari. Saya memilih judul novel Ronggeng
Dukuh Paruk karena saya tertarik dengan cerita dari dosen saya tentang sebuah
film yang berjudul Sang Penari, yang merupakan judul film yang diambil dari
novel sastra karya Ahmad Tohari yang berjudul Ronggeng Dukuh Paruk. Novel ini
merupakan salah satu novel karya Ahmad Tohari yang terbit pada tahun 1982.
Dalam isi cerita novel ini di
kisahkan ada sebuah desa sebuah yang
bernama Dukuh paruk. Dlama sebuah desa kecil yang miskin dan terpencil ini ini
terdapat seorang Ronggeng(penari) yang bernama Srintil. Dalam waktu singkat,
Srintil pun membuktikan kebolehannya menari disaksikan orang-orang Dukuh Paruk
sendiri dan selanjutnya dia pun berstatus gadis pilihan yang menjadi milik
masyarakat. Sebagai seorang ronggeng, Srintil harus menjalani serangkaian
upacara tradisional yang puncaknya adalah menjalani upacara bukak klambu, yaitu
menyerahkan keperawanannya kepada siapa pun lelaki yang mampu memberikan
imbalan paling mahal.
Meskipun Srintil sendiri merasa ngeri, tak ada kekuatan dan
keberanian untuk menolaknya. Srintil telah terlibat atau larut dalam kekuasaan
sebuah tradisi, di sisi lain, Rasus merasa mencintai gadis itu tidak bisa
berbuat banyak setelah Srintil resmi menjadi ronggeng yang dianggap milik orang
banyak. Oleh karena itu, Rasus memilih pergi meninggalkan Srintil sendirian di
Dukuh Paruk. Kepergian Rasus ternyata membekaskan luka yang mendalam di hati
Srintil dan kelak besar sekali pengaruhnya terhadap perjalanan hidupnya yang
berliku. Rasus yang terluka hatinya memilih meninggalkan Dukuh Paruk dan
akhirnya menjadi seorang prajurit atau tentara yang gagah. Dengan
ketentaraannya itulah kemudian Rasus memperoleh penghormatan dan penghargaan
seluruh orang Dukuh Paruk, lebih-lebih setelah berhasil menembak dua orang
perampok yang berniat menjarah rumah Kartareja yang menyimpan harta kekayaan
ronggeng Srintil.
Beberapa hari singgah di Dukuh Paruk Rasus sempat menikmati
kemanjaan Srintil sepenuhnya. Tapi itu semua tidak menggoyahkan tekadnya yang
bulat untuk menjauhi Srintil dan dukuhnya yang miskin. Pada saat fajar merekah,
Rasus melangkah gagah tanpa berpamitan pada Srintil yang masih pulas tidurnya. Kepergian
Rasus tanpa pamit sangat mengejutkan dan menyadarkan Srintil bahwa ternyata
tidak semua lelaki dapat ditundukkan oleh seorang ronggeng. Setelah kejadian itu
Srintil setiap hari tampak murung dan sikap Srintil yang kemudian menimbulkan
keheranan orang-orang disekitarnya. Kebanyakan mereka tidak senang menyaksikan
kemurungan Srintil, sebab mereka tetap percaya ronggeng Srintil telah menjadi
simbol kehidupan Dukuh Paruk. Dalam kurun waktu tertentu, Srintil tetap
bertahan tidak ingin menari sebagai ronggeng.
Perlawanan atau pemogokan Srintil masih bertahan ketika
datang tawaran menari dari Kantor Kecamatan Dawuan yang akan menggelar pentas
kesenian menyambut perayaan Agustusan. Kalau pun pada akhirnya runtuh dan
pasrah, bukan semata-mata tergugah untuk kembali tampil menari sebagai seorang
ronggeng, melainkan mendengar ancaman Pak Ranu dari Kantor Kecamatan. Srintil
menyadari kedudukannya sebagai orang kecil yang tak berhak melawan kekuasaan.
Sama selaki ia tidak membayangkan akibat lebih jauh dari penampilannya di
panggung perayaan Agustusan yang pada tahun 1964 sengaja dibuat berlebihan oleh
orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI). Warna merah dipasang di mana-mana
dan muncullah pidato-pidato yang menyebut-nyebut rakyat tertindas, kapitalis,
imperalis, dan sejenisnya.
Pemberontakan PKI kandas dalam sekejap dan akibatnya
orang-orang PKI atau mereka yang dikira PKI dan siapa pun yang berdekatan
dengan PKI di daerah mana pun ditangkapi dan di tahan. Nasib itu terjadi juga
pada Srintil yang harus mendekam di tahanan tanpa alasan yang jelas. Pada
mulanya, terjadi paceklik di mana-mana sehingga menimbulkan kesulitan ekonomi
secara menyeluruh.
Pada waktu itu, orang-orang Dukuh Paruk tidak berpikir
panjang dan tidak memahami berbagai gejala zaman yang berkembang di luar
wilayahnya. Dalam masa paceklik yang berkepanjangan, Srintil terpaksa lebih
banyak berdiam di rumah, karena amat jarang orang mengundangnya berpentas untuk
suatu hajatan. Akan tetapi, tidak lama kemudian ronggeng Srintil sering
berpentas di rapat-rapat umum yang selalu dihadiri atau dipimpin tokoh Bakar.
Walaupun Srintil tidak memahami makna rapat-rapat umum, pidato yang sering
diselenggarakan orang. Yang dia pahami hanyalah menari sebagai ronggeng atau
melayani nafsu kelelakian.
Hubungan mereka merenggang setelah beberapa kali terjadi
penjarahan padi yang dilakukan oleh orang-orang kelompok Bakar. Sukarya merasa
tersinggung dengan Bakar, karena Bakar mengungkit-ungkit masa lampau Ki
Secamenggala yang dikenal orang sebagai bromocorah. Karena hal itu Sakarya
memutuskan hubungan dengan kelompok Bakar. Sakarya tidak hanya melarang
ronggeng Srintil berpentas di rapat-rapat umum, tetapi juga meminta pencabutan
lambang partai. Akan tetapi, Bakar menanggapinya dengan sikap bersahaja. Dalam
tempo singkat, Dukuh Paruk kembali ke tradisinya yang sepi dan miskin.
Akan tetapi, kedamaian itu hanya sebentar, karena mereka
kemudian kembali bergabung dengan kelompok Bakar setelah terkecoh oleh
kerusakan cungkup makam Ki Secamenggala. Sakarya menduga kerusakan itu ulah
kelompok Bakar yang sakit hati, tetapi kemudian beralih ke kelompok lain
setelah menemukan sebuah caping bercat hijau di dekat pekuburan itu. Sayang, mereka
tidak mampu membaca simbol itu. Dan Srintil pun semangat menari walaupun
tariannya tidak seindah penampilannya yang sudah-sudah.
Ternyata penampilan yang berlebihan itu merupakan akhir
perjalanan Srintil sebagai ronggeng. Mendadak pasar malam bubar tanpa
penjelasan apa pun dan banyak orang limbung, ketakutan, dan kebingungan,
sehingga kehidupan terasa sepi dan mencekam. Berbagai peristiwa menjadikan
orang-orang Dukuh Paruk ketakutan, tetapi tidak mengetahui cara-cara
penyelesaiannya. Yang terpikir adalah melaksanakan upacara selamatan dan
menjaga kampung dengan ronda setiap saat.
Keesokan harinya orang-orang Dukuh Paruk melepas langkah
Kartareja dan Srintil yang berniat meminta perlindungan polisi di Dawuan. Tapi
ternyata harapan berlindung kepada polisi itu berantakan, karena kepolisian dan
tentara justru sudah menyimpan catatan nama Srintil yang terlanjur populer
sebagai ronggeng rakyat yang mengibarkan bendera PKI.
Srintil
pulang ke Dukuh Paruk setelah dua tahun mendekam dalam tahanan politik dengan
kondisi kejiwaan yang sangat tertekan. Ia berjanji menutup segala kisah dukanya
selama dalam tahanan dan bertekad melepas predikat ronggengnya untuk membangun
sebuah kehidupan pribadinya yang utuh sebagai seorang perempuan Dukuh Paruk,
meskipun tidak mengetahui sedikitpun keberadaan Rasus.
Srintil bertemu dengan Bajus. Bajus berjanji akan menikahi
Srintil, sehingga Srintil berusaha mencintai Bajus. Tapi Srintil sangat kecewa,
karena Bajus ternyata lelaki impoten yang justru hanya berniat menawarkannya kepada
seorang pejabat proyek. Srintil pun mengalami goncangan jiwa dan akhirnya
menderita sakit gila sampai akhirnya dibawa ke rumah sakit jiwa oleh Rasus.
Tema yang di ambil dalam novel ini adalah tema yang
mengangkat tentang kebudayaan. Suatu kebudayaan ronggeng(penari) yang berasal
dari sebuah desa yang bernama dukuh paruk. Tokoh-tokoh yang saya anggap
menonjol dalam menggulirkan alur cerita dalam novel ini adalah sang ronggeng
Srintil, sang tentara Rasus, Sakarya, Kartareja dan Istrinya. Srintil adalah
seorang anak yatim piatu yang bercita-cita menjadi ronggeng. Dia pandai
memikat, pandai menari, senang dipuji, cantik. Adapun genre dari novel ini
ialah buku novel yang bergenre fiksi.
Rasus adalah seorang anak laki-laki yatim piatu yang
menyukai bahkan mengagumi Srintil karena sebuah alasan ia melihat sosok ibunya
pada sosok Srintil. Rasus adalah anak yang rajin, terbukti semasa kecilnya ia
kerap membantu neneknya menggembalakan kambing. Kemudian ketika dewasa ia
tumbuh menjadi laki-laki yang patuh terhadap keharusan bahwa ia harus
meninggalkan Dukuh Paruk untuk menjadi seorang tentara. Ketika menjadi seorang
tentara, Rasus tidak lagi ragu-ragu untuk memilih jalan yang seharusnya ia
tempuh.
Sakarya, kakek Srintil yang amat patuh pada adat. Sakarya
sangat memercayai keberadaan Ki Secamenggala. Sakarya bahkan membuat Srintil
menjadi seorang ronggeng di usia muda.Kartareja, seorang dukun ronggeng yang
licik. Ketika malam buka kelambu, ia melakukan kelicikan pada dua orang pemuda
yang mampu memenuhi persyaratan untuk bisa mewisuda keperawanan seorang
ronggeng, Srintil.
Istri Kartareja juga sama halnya dengan suaminya, licik.
Nyai Kartareja juga pandai memikat dan menaklukkan orang yang sedang emosi.
Terbukti ketika Nyai Kartareja menaklukkan emosi dua orang pemuda yang hendak
mewisuda keperawanan Srintil.
Ada
pun tokoh-tokoh lainnya seperti Darsun, Warta, Sakum, Santayib, Istri Santayib,
Nenek Rasus, Nyai Sakarya, Siti, Ibu Siti, dan warga Dukuh Paruk lainnya, juga
sang leluhur yang sosoknya selalu disebut-sebut warga Dukuh Paruk, Ki
Secamenggala.
Alur yang digunakan adalah alur campuran. Ceritanya
terkadang melaju ke masa depan, namun juga terkadang mengulas masa lalu.
Menurut saya, alur yang digunakan dalam penceritaan ini sangat meloncat-loncat.
Untuk pertama kali, Rasus menceritakan kehidupannya di usia empat belas tahun,
lalu tiba-tiba ia menjadi tentara dan usianya dua puluh tahun. Jalan cerita
tidak sedikit pun menjabarkan tentang bagaimana Rasus menjadi seorang tentara
dan Srintil mulai beranjak menjadi wanita dewasa.
Ada pun kilas balik ke masa yang lebih dulu, ketika Srintil
masih bayi dan keracunan akibat tempe bongkrek itu terjadi, setidaknya itu
lebih jelas penjabaran alur ceritanya. Namun, seperti ada sesuatu yang hilang
atau mungkin memang disengaja ketika penggunaan alur penceritaan dari usia
Rasus yang ke-14 tahun menuju penceritaan pada saat usia Rasus yang ke-20
tahun. Di akhir cerita pun seperti ada sesuatu yang menggantung, sesuatu yang
belum selesai. Hal ini dapat dipahami karena novel ini adalah novel pertama
dari trilogi novel yang ada. Kesimpulannya, alur dalam novel ini terkesan
meloncat-loncat bagi saya.
Sudut pandang pengarang dalam novel ini adalah sebagai sudut
pandang orang pertama serba tahu. Ahmad Tohari memasukkan sudut pandang
keakuannya pada tokoh Rasus yang dibuat seolah tahu semua hal yang terjadi pada
semua tokoh lainnya yang terdapat dalam novel ini. dipatuhi oleh cerita.
Sementara kebenaran yang saya yakini sungguh jauh berbeda dengan yang terdapat
dalam cerita. Namun, menilai karya sastra memanglah tidak dibenarkan jika
memakai penilaian dari sudut pandang kesubjektifan.
B.
Jenis
Novel
karya dari Ahmad Tohari ini adalah novel yang berjenis fiksi atau kisah
khayalan semata. Walaupun begitu novel karya sastrawan hebat ini merupakan
salah satu novel yang cukub baik. Mengapa demikian, karena di dalam cerita
novel ini banyak sekali mengangkat tema tentang kebudayaan yang ada di
Indonesia. Selain itu, novel ini banyak sekali nilai historisnya, karena di
dalam novel ini banyak sekali mengangkat latar belakang cerita tentang
masa-masa jayanya PKI. Dengan adanya novel ini dapat mengingatkan kita tentang
kebudayaan Indonesia salah satunya adalah ronggeng.
C.
Penilaian
1.
Kelebihan
Kelebihanya, kisah novel ini sarat akan nilai kemanusiaan
dan penghormatan pada perempuan. Srintil merupakan simbol tokoh yang dijadikan
sebagai semangat keperempuanan yang berjuang untuk keluar dari hitamnya
zaman,dimana perempuan saat itu harus diperbudak oleh lelaki sebagai hawa nafsu
dan selalu dikekang dalam memilih hidupnya sendiri. Sangat sarat dengan
HAM.terutama lebih menekankan hak pribadi yang juga harus dimiliki seseorang
(terutama perempuan). Novel ini juga mengajarkan kita untuk selalu sadar dan
ingat sejarah.
2.
Kekurangan
Kekurangan dari novel ini yaitu penceritaan yang
bertele-tele dengan sisipan suasana desa yang begitu detail namun keluar dari
alur cerita,sehingga cerita seolah menjadi tak konsisten dan terlalu jenuh
untuk dibaca. Dan yang paling kental adalah banyaknya kata-kata yang sangat
seronok dan kasar,seperti Asu Buntung,Bajul Buntung,dan sebagainya yang begitu
kasar dalam kasta Bahasa Jawa maupun Bahasa Indonesia.
3.
Kesimpulan
Dengan membaca isi dari novel ini kita dapat memberikan
beberapa perbandingan dengan novel lainya. Jika, di bandingkan dengan novel
karya Ahmad Tohari yang lain, seperti, Kubah, Ayam Kemukus, dan Bekisar Merah,
novel karya Ahmad Tohari yang satu ini cukuplah menarik. Karena, di butuhkan
penalaran yang lebih dalam untuk kita bisa memahami apa saja makna dan
kandungan yang terdapat di dalam novel ini. Novel ini ceritanya sungguh rumit
dan sangat sulit di pahami seperti halnya film Sang Penari yang sebenarnya
merupakan film yang memang diangkat dari sebuah berjudul novel Ronggeng Dukuh
Paruk. Cukup banyak tersirat amanat yang terkandung di dalam isi bacaan novel
ini. Namun, Sulit rasanya ketika saya harus memandang kebenaran berdasar pada
kebenaran yang dipatuhi oleh cerita. Sementara kebenaran yang saya yakini
sungguh jauh berbeda dengan yang terdapat dalam cerita. Namun, menilai karya
sastra memanglah tidak dibenarkan jika memakai penilaian dari sudut pandang
kesubjektifan.
Dengan segala keterbatasan penangkapan nilai-nilai dalam
novel ini, mungkin amanat yang hendak disampaikan dari novel ini adalah
keterbatasan hanya pada satu pemahaman tidak akan membuat kemajuan yang lebih
pada kehidupan. Warga Dukuh Paruk boleh saja bahkan memang seharusnya
menghargai adat yang berlaku sudah sekian lamanya, namun kebanggaan dan
penghargaan tersebut jangan sampai menutup mata mereka terhadap kehidupan di
luar Dukuh Paruk sehingga mereka buta sama sekali tentang kenyataan kehidupan
di luar kampung mereka sendiri.
Menurut saya, novel ini sangat cocok di baca oleh mahasiswa
dan kaum pelajar karena banyak sekali pesan yang terkandung di dalam novel
sastra ini. Bukan hanya itu, dengan novel ini pembaca dapat melatih imajinasi
serta pemahamanya mengenai karya sastra yang bersifat seni. Pembaca, sebagai
peminat karya sastra hendaknya juga dapat melakukan pengkajian karya sastra
supaya dapat lebih memahami unsur-unsur karya sastra secara lebih mendalam
rangkaian hikmah yang ada dan untuk mengetahui lebih dekat macam-macam teori
pengkajian sastra agar dapat menambah wawasan pembaca.